JIKA melihat struktur dan arsitekturnya, terlihat jelas jika Masjid Pesantren Cijawura, Buahbatu merupakan salah satu masjid tertua di Kota Bandung. Hampir satu abad, tepatnya sudah 98 tahun masjid ini berdiri.
Pimpinan Pondok Pesantren Cijawura, H.M Asep Usman Rosadi menceritakan, perjalanan dan kisah masjid ini sebagai saksi bisu syiar Islam dan gugurnya 200 pejuang Jawa Barat pada tahun 1946.
Asep adalah generasi ketiga dari pemilik masjid sekaligus pondok pesantren ini. Ia menjelaskan, awalnya bangunan tersebut hanya berupa musala pada tahun 1925.
“Tapi dibuatlah menjadi masjid sebagai upaya untuk membina masyarakat dalam bidang agama di Cijawura. Masjid ini pun didirikan oleh Abah H. Abdul Syukur,” jelas Asep kepada Humas Kota Bandung.
Abah Abdul kemudian mencari sosok yang mampu mengajarkan agama kepada masyarakat sekitar Cijawura. Ia mendatangi pesantren di Sukamiskin. Di sana ia bertemu dengan sosok bernama Burhan.
“Abah memilih mantu yang juga ia percayai memegang amanah tersebut. Terpilihlah K.H.R.M Burhan untuk menjalankan dakwah di Cijawura,” lanjutnya.
Tak berhenti sampai di situ, Abah Abdul juga ingin mendirikan pesantren. Maka dari itu, pada tahun 1930 didirikanlah pesantren bersamaan dengan membangun masjid.
“Sifatnya inklusif, siapapun bisa masuk ke masjid ini. Maka dari itu, nama masjid ini pun sengaja dipilih dengan bahasa setempat yakni Masjid Pesantren Cijawura,” ungkapnya.
Menurut Asep, dijadikannya nama daerah sebagai nama masjid dan pesantren bertujuan agar orang bisa merasa lebih dekat, mudah diingat, dan mudah dikenal.
Kemudian, pada tahun 1945, pondok pesantren ini menjadi basis atau posko pertahanan para pejuang dalam rangka mempertahankan Republik Indonesia.
“Tahun 1946 ketika salat Jumat, terjadi penyerangan oleh tentara Belanda dari segala penjuru. Akibat kejadian itu, sekitar 200 syuhada gugur,” ucapnya.
Awalnya para pahlawan yang gugur ini dimakamkan di halaman masjid. Tapi, pada tahun 1993 Pemerintah Kota (Pemkot) Bandung memindahkan makamnya ke Taman Makam Pahlawan (TMP) Cikutra.
“Para syuhada ini sebenarnya dimakamkan di halaman masjid. Namun, sebagai bentuk menghargai jasa para syuhada, akhirnya Pemkot Bandung saat itu memindahkan makam ke TMP. Bentuknya memang bukan makam utuh karena saat awal gugur pun para pahlawan ini ditembaki di satu lubang,” tuturnya.
Lalu, pada tahun 1957 dilakukan perbaikan bangunan yang rusak dan pembangunan menara.
Sementara itu, Takmir Masjid Pesantren Cijawura, Ridwan menambahkan, saat 1946 Belanda belum menerima kemerdekaan Indonesia. Ini mendorong para tokoh pimpinan Pesantren Cijawura mengungsi ke Ciparay.
“Karena di sini kosong, jadinya tempat ini dijadikan posko perjuangan,” ungkap Ridwan.
Ia menambahkan, awalnya masjid ini hanya berukuran 20×10 meter. Namun, kini telah diperlebar. Meski begitu, bangunan lamanya tetap dipertahankan.
“Sekarang ini ukurannya 40×30 meter dan dibangun sampai tiga tingkat atau tiga lantai,” ujar Ridwan.
Ia mengatakan, setelah dibangun pesantren, sekolah pun mulai didirikan.
“Sekarang pesantren itu harus ada sekolah. Kalau tidak ada sekolahnya, santri yang masuk sedikit,” tutur lelaki yang sudah menjadi marbot Masjid Pesantren Cijawura selama 15 tahun ini.
Ia juga menjelaskan mengenai beberapa arsitektur masjid tersebut. Berbeda dengan masjid pada umumnya, Masjid Pesantren Cijawura memang masih terlihat sangat konservatif. Terdapat kubangan air di sisi depan dan belakang pintu masjid.
“Dari luar kita tidak tahu apakah bawa najis atau tidak. Najis dibersihkannya lewat kubangan air yang ada di di depan masjid,” terangnya. (din)**